Tiap kali kata ‘ilmu disebut dalam al-Qur’ān maupun sunnah, maka berulang kali pula muncul perintah untuk menuntutunya, dorongan untuk mencarinya, pujian terhadap para pemiliknya, kemuliaannya, balasan yang berlipat ganda atasnya, serta ketinggian pangkatnya di sisi Allah s.w.t. Yang dimaksud dengan ‘ilmu di sini tentu saja ‘ilmu bermanfaat yang mengenalkanmu kepada Allah beserta sifat-sifatNya, serta yang menerangkan hukum-hukum syarī‘at, mendorongmu ber‘amal shāliḥ, menciptakan rasa cemas dalam hati, serta menanamkan rasa takut kepada Allah.
Allah berfirman: “Hamba yang takut kepada Allah hanyalah para ‘ulamā’.” (Fāthir [35]: 28). Allah menerangkan bahwa ‘ilmu itu selalu terkait dengan rasa takut. Maka itu, orang-orang yang mengenal Allah adalah orang yang takut, cemas, dan malu.
Allah juga berfirman: “Orang-orang yang diberi ‘ilmu sebelumnya, bila al-Qur’ān dibacakan kepada mereka, mereka langsung tersungkur bersujūd.” (al-Isrā’ [17]: 107). “Orang-orang yang mendalam ‘ilmunya berkata, “Kami berīmān kepadanya. Semuanya berasal dari Tuhan kita.” (Āli ‘Imrān [3]: 7). “Katakan (wahai Muḥammad): Ya Tuhanku tambahkanlah ‘ilmu padaku.” (Thāhā [20]: 114). Nabi pun pernah bersabada: “Para ‘ulamā’ adalah pewaris para nabi.”
Dari semua dalil tadi dan dari dalil-dalil yang lain dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ‘ilmu adalah ‘ilmu yang bermanfaat, bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, bisa mengalahkan hawa nafsu, bisa menghancurkan syahwat, mendorong pada taat, serta meninggalkan maksiat. Itu sangat jelas. Sebab, firman Allah dan sabda Rasūl s.a.w. mengarah pada itu semua, tidak pula yang lainnya.
‘Ilmu yang bermanfaat adalah ‘ilmu yang bisa membantu menuju ketaatan. Di dalamnya terdapat rasa takut kepada Allah dan perhatian terhadap hukum-hukumNya berupa ‘ilmu syarī‘at dan agama. Orang yang banyak bicara tentang tauḥīd dan mengaku memiliki ‘ilmu hakikat, tapi tak mengindahkan hukum syarī‘at, maka ia telah mencampakkan dirinya dalam samudera kekufuran. Jadi, orang yang betul-
Syarī‘at ialah disiplin ‘ubūdiyyah, sementara hakikat ialah penyaksian ilāhiyyah. Setiap syarī‘at yang tidak dikukuhkan hakikat, tidaklah bisa diterima. Setiap hakikat yang tidak dikukuhkan syarī‘at, tidaklah akan berguna.
Abul-Qāsim al-Qusyairī
betul ‘ālim ialah yang memerhatikan syarī‘at, terikat dengan hukum-hukumnya, serta melaksanakan semua perintahnya.
Demikian pula dengan ahli hakikat. Ia tidak boleh hanya bersandar pada sisi hakikat dan berhenti pada lahiriah teks syarī‘at. Namun, ia harus ada di antara keduanya. Berhenti pada lahiriah syarī‘at semata merupakan bentuk kefasikan, sementara bersandar pada sisi hakikat tanpa memerhatikan syarī‘at merupakan bentuk penyimpangan. Hidāyah dan petunjuk Allah terletak di antara keduanya.
Setiap ‘ilmu yang membisikkan hal buruk padamu, yang disenangi oleh nafsu dan membuatmu berpaling dari Allah haruslah dibuang meskipun benar adanya. Biarkanlah ‘ilmu-‘ilmu dunia dimiliki oleh mereka. Ambillah ‘ilmu Allah yang diturunkan lewat Rasūl-Nya s.a.w. Ikutilah jejak beliau, para khalīfah yang bijak, para sahabat, tābi‘īn, orang-orang yang menunjukkan jalan menuju Allah, para imām yang bebas dari keinginan hawa nafsu, serta generasi terdahulu yang saleh. Bila engkau mengikuti mereka, niscaya selamat dari keraguan, kebimbangan, bisikan, serta pengakuan dusta yang menyesatkan.
Cukuplah engkau memperoleh ‘ilmu yang bermafaat. Yakni, ‘ilmu tentang keesaan Allah beserta berbagai efeknya seperti cinta kepada-Nya, cinta kepada Rasūl-Nya s.a.w., cinta kepada para sahabat, dan keyakinan bahwa kebenaran itu ada pada jamā‘ah.
Jika enkau ingin berada dalam wilayah kebenaran, bertemanlah dengan orang yang bisa menunjukkanmu kepada Allah, membimbingmu pada-Nya, serta mendekatkanmu pada rahmat dan kemuliaan-Nya. Bisa dengan ucapan yang benar, nasihat yang berguna, atau ‘amal perbuatan yang jelas-jelas tidak bertentangan dengan al-Qur’ān dan sunnah, serta tidak bertentangan dengan hukum syarī‘at. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “‘Ilmu itu ada dua: 1). ‘Ilmu yang terdapat dalam qalbu dan inilah ‘ilmu yang bermanfaat, 2). ‘Ilmu yang terdapat di lisan, dan inilah yang merupakan ḥujjah Allah atas manusia.” (H.R. al-Khathīb dari Ibn ‘Abd-il-Barr).
‘Ilmu tidaklah berguna kecuali kalau di‘amalkan. ‘Ilmu tanpa ‘amal seperti pohon tanpa buah dan tanpa naungan. Ada atau tidak ada sama saja. ‘Ilmu dan ‘amal seperti raja yang menulis surat kepada wakilnya. Surat itu ia kirim padanya untuk dilaksanakan. Tentu takkan berguna kalau surat itu hanya diterima dan dibaca. Ia baru berguna kalau dilaksanakan dan di‘amalkan.
Orang yang sibuk dengan ‘ilmu tanpa memiliki bashīrah yang bisa menunjukkannya ke jalan yang benar seperti seratus ribu orang buta yang melintasi sebuah jalan dengan penuh kebingungan. Kalau saja ada satu orang yang mempunyai mata sehat, pastilah ia akan diikuti semua orang. Dan mereka pun akan meninggalkan seratus ribu orang buta tadi.
‘Ilmu tanpa ‘amal seperti obor yang menerangi manusia, tetapi membakar dirinya sendiri. Oleh karena itu, bodoh lebih baik daripada mengetahui tapi lalai dari Allah.
Orang yang memberdayakan anggota tubuhnya adalah yang telah menyiram qalbunya dengan perenungan, lisannya dengan dzikir, matanya dengan menjaga dari yang ḥarām, telinganya dengan memerhatikan ‘ilmu dan nasihat, tangannya dengan berinfāq di jalan Allah, serta kakinya dengan ‘amal kebajikan dan ketaatan.