Definisi Mubtada’
Mubtada’ adalah isim yang terletak di permulaan. Syarat isim menjadi mubtada’ adalah menjadi sumber khabar dan terbebas dari ‘āmil lafzhī (‘āmil yang tampak secara lisan dan tulisan – Ed). Isim bisa menjadi mubtada’ jika tidak dimasuki ‘āmil zhāhir yang bisa mencegahnya menjadi mubtada’. Jika ia terbebas dari ‘āmil zhāhir, ia memenuhi syarat untuk menjadi acuan dan titik-tolak dalam memberikan informasi.
Demikian juga orang yang sejak awal membebaskan diri dari pengaruh sifat tamak, syahwat, dan hasrat akan mengalami kemajuan spiritual. Namun jika dia tertawan oleh hasrat dan ambisinya sendiri, dia akan mengalami kemunduran spiritual hingga titik terendah; derajatnya akan jatuh ke bawah hingga sepadan dengan alas kaki.
‘Āmil Mubtada’
Terdapat dua macam ‘āmil, yaitu ‘āmil lafzhī dan ‘āmil ma‘nawī. Meskipun syarat menjadi mubtada’ harus terbebas dari ‘āmil lafzhī, namun suatu isim tetap membutuhkan ‘āmil agar sah menjadi mubtada’. ‘Āmil yang dimaksud bukan ‘āmil lafzhī, melainkan ‘āmil ma‘nawī (‘āmil yang bersifat abstrak – Ed) yang berupa ma‘na permulaan (ibtidā’). Keberadaan mubtada’ sebagai permulaan merupakan ‘āmil ma‘nawī yang menjadikannya layak disebut mubtada’.
Demikian juga ‘amal perbuatan manusia terbagi menjadi dua jenis, yaitu ‘amal perbuatan zhāhir (tampak) yang dapat diketahui oleh semua orang dan ‘amal perbuatan mastūr (tertutup) yang tidak tampak, kecuali setelah beberapa waktu berlalu.
Imām al-Junaid raḥimahullāh pernah mengatakan: “Barang siapa ingin menitipkan (menyimpan) suatu rahasia kepada seseorang, maka hendaklah menitipkan rahasia itu kepada Ruwaim, karena dia telah bersahabat dengan kami selama bertahun-tahun dan dia menyimpan cinta yang besar kepada kami di dalam hatinya sehingga kami tidak mengetahuinya.”
Mubtada’ Diistimewakan dengan Rafa’
Dalam pembahasan ibtidā’ terdapat pasal yang menjelaskan bahwa mubtada’ sesuatu yang paling layak melekat dengan rafa‘. Rafa‘ itu sendiri adalah harakat paling kuat yang bisa mengendalikan tali kendali (lijām) pembicaraan.
Penjelasan sufistik dari paparan di atas: Orang yang bisa meredam ambisinya dan mengontrolnya hasrat keinginannya akan menjadi kuat, sehingga dia diistimewakan dengan diberi beban yang paling berat; dibebani perkara-perkara yang paling berat. Dia akan sanggup menghadapinya karena itu, orang yang paling kuat keadaannya akan diistimewakan untuk menghadapi perkara-perkara berat.
Allah s.w.t. berfirman kepada Nabi Muḥammad s.a.w.:
إِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا.
“Sesungguhnya, Kami akan menyampaikan kepadamu perkataan yang berat.” (QS. al-Muzzammil [73]: 5).
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
النَّاسُ كَإِبِلٍ هَائِمَةٍ لَا تَكَادُ تَجِدُ فِيْهَا رَاحِلَةً.
“Manusia seperti unta-unta yang bingung, hampir kamu tidak bisa menemukan di antara mereka yang layak ditunggangi sebagai kendaraan.” (HR. Ibnu Mājah).
Asy-Syiblī pernah berkata:
أَنَا أَشْعُرُ أَنِّيْ مَأْخُوْذٌ بِجَرَائِمِ الْخَلْقِ.
“Aku merasa bahwa aku ditahan sebab dosa-dosa makhluq.”