(فَضْلٌ)
وَ مَعَ أَنَا نَقُوْلُ أَنَّ الْمَعْرِفَةَ وَاجِبَةٌ وَ أَنَّ النَّظَرَ الْمُوْصِلُ إِلَيْهَا وَاجِبٌ، فَإِنَّ بَعْضَ أَصْحَابِنَا يَقُوْلُ أَنَّ مَنِ اعْتَقَدَ فِيْ رَبِّهِ تَعَالَى الْحَقَّ وَ تَعَلَّقَ بِهِ اعْتِقَادُهُ عَلَى الْوَجْهِ الصَّحِيْحِ فِيْ صِفَاتِهِ فَإِنَّهُ مُؤْمِنٌ مُوَحِّدٌ. وَ لكِنْ هذَا لَا حَصَلَ لِغَيْرِ نَاظِرٍ لَمْ نَأْمَنْ أَنْ يَتَخَلْخَلَ اعْتِقَادُهُ.
(Pasal): Cukupnya Taqlīd untuk Meyakini Allah.
Di saat aku berpendapat bahwa ma‘rifat dan pemikiran yang mengantarkan padanya wajib, sebagian Ashḥāb kita (ulama Asy‘ariyah) berpendapat, bahwa orang yang meyakini kebenaran tentang Allah ta‘ālā dan keyakinannya terhadap sifat-sifat Allah bergantung padanya dengan cara yang benar, maka ia adalah seorang mu’min muwaḥḥid. Namun hal ini pada umumnya hanya diperoleh oleh orang yang melakukan pemikiran. Andaikan hal itu diperoleh selain orang yang melakukan pemikiran, keyakinannya tidak aman dari kegoncangan.
فَلَا بُدَّ عِنْدَنَا أَنْ يَعْلَمَ كُلَّ مَسْأَلَةٍ مِنْ مَسَائِلِ الْاِعْتِقَادِ بِدَلِيْلٍ وَاحِدٍ، وَ لَا يَنْفَعُهُ اعْتِقَادُهُ إِلَّا أَنْ يَصْدُرَ عَنْ دَلِيْلٍ عِلْمُهُ إِلَّا أَنْ يَصْدُرَ عَنْ دَلِيْلٍ عِلْمُهُ. فَلَوِ اخْتُرِمَ وَ قَدْ تَعَلَّقَ اعْتِقَادُهُ بِالْبَارِيْ تَعَالَى كَمَا يَنْبَغِيْ وَ عَجَزَ عَنِ النَّظَرِ فَقَالَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ إِنَّهُ يَكُوْنُ مُؤْمِنًا، وَ إِنْ تَمَكَّنَ مِنَ النَّظَرِ وَ لَمْ يَنْظُرْ. قَالَ الْأُسْتَاذُ أَبُوْ إِسْحَاقٍ يَكُوْنُ مُؤْمِنًا عَاصِيًا بِتَرْكِ النَّظَرِ، وَ بَنَاهُ عَلَى أَصْلِ الشَّيْخِ أَبِيْ الْحَسَنِ.
Maka menurutku, orang harus mengetahui setiap permasalahan akidah dengan dalilnya. Keyakinan tidak akan bermanfaat baginya kecuali bila keyakinannya muncul dari suatu dalil. Bila orang mati dalam kondisi keyakinannya terhadap Allah ta‘ālā Yang Maha Selamat sebagaimana mestinya dan tidak mampu melakukan pemikiran, maka sebagian ulama Asy‘ariyah berpendapat, bahwa orang tersebut adalah mu’min; bila ia mampu melakukan pemikiran namun tidak melakukannya, maka menurut al-Ustādz Abū Isḥāq (261) ia mu’min yang maksiat sebab tidak melakukan penalaran – yang mana pendapat ini dibangunnya pada ajaran Syaikh Abū Ḥasan al-Asy‘arī – .
وَ أَمَّا كَوْنُهُ مُؤْمِنًا مَعَ الْعَجْزِ وَ الْاِخْتِرَامِ فَظَاهِرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى، وَ أَمَّا كَوْنُهُ مُؤْمِنًا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى النَّظَرِ وَ تَرْكِهِ فَقَوْلُهُ فِيْهِ نَظَرٌ عِنْدِيْ، وَ لَا أَعْلَمُ صِحَّتَهُ الْآنَ.
Adapun pernyataan Abū Isḥāq, bahwa orang tersebut mu’min bila tidak mampu melakukan penalaran dan mati, maka jelas benarnya, in syā’ Allāh; sedangkan pernyataan bahwa ia mu’min besertaan mampu melakukan pemikiran namun tidak melakukannya, maka menurutku dalam hal ini perlu pemikiran lebih lanjut, dan sekarang aku tidak meyakini kebenarannya.
فَإِنْ قِيْلَ: قَدْ أَوْجَبْتُمُ النَّظَرَ قَبْلَ الْإِيْمَانِ عَلَى مَا اسْتَقَرَّ مِنْ كَلَامِكُمْ فَإِذَا دُعِيَ الْمُكَلَّفُ إِلَى الْمَعْرِفَةِ فَقَالَ: حَتَّى أَنْظُرَ فَأَنَّا الْآنَ فِيْ مَهْلَةِ النَّظَرِ وَ تَحْتَ تِرْدَادِهِ، مَاذَا تَقُوْلُوْنَ؟ أَتَلْزَمُوْنَهُ الْإِقْرَارَ بِالْإِيْمَانِ فَتَنْقُضُوْنَ أَصْلَكُمْ فِيْ أَنَّ النَّظَرَ يَجِبُ قَبْلَهَا، أَمْ تُمْهِلُوْنَهُ فِيْ نَظَرِهِ إِلَى حَدٍّ يَتَطَاوَلُ بِهِ الْمُدَّى فِيْهِ، أَمْ تَقْدُرُوْنَهُ بِمِقْدَارٍ فَتَحْكُمُوْنَ عَلَيْهِ بِغَيْرِ نَصٍّ؟
Bila disangkal: “Anda telah mewajibkan pemikiran sebelum keimanan sesuai makna ucapan anda, lalu bila seorang mukallaf disuruh untuk ma‘rifat (beriman) dan menjawab: “(Nanti dulu), sampai saya melakukan pemikiran, sebab sungguh sekarang saya masih dalam masa pemikiran yang lama dan sedang mengulang-ulangnya”, maka apa pendapat anda? Apakah anda akan mewajibkannya untuk mengikrarkan keimanan, sehingga anda merusak prinsip anda sendiri yang mewajibkan pemikiran sebelumnya, atau membiarkannya melakukan penalaran sampai waktu yang tidak diketahui batasnya, atau anda tentukan batas waktunya sehingga anda menghukumnya tanpa nash?
فَالْجَوَابُ أَنَّا نَقُوْلُ أَمَّا الْقَوْلُ بِوُجُوْبِ الْإِيْمَانِ قَبْلَ الْمَعْرِفَةِ فَضَعِيْفٌ، لِأَنَّ إِلْزَامَ التَّصْدِيْقِ بِمَا لَا تُعْلَمُ صِحَّتَهُ يُؤَدِّيْ إِلَى التَّسْوِيَةِ بَيْنَ النَّبِيِّ وَ الْمُتَنَبِّيْ، وَ أَنَّهُ يُؤْمِنُ أَوَّلًا فَيَنْظرُ فَيَتَبَيَّنُ لَهُ الْحَقُّ فَيَتَمَادَى، أَوْ يَتَبَيَّنُ لَهُ الْبَاطِلُ فَيَرْجِعُ وَ قَدِ اعْتَقَدَ الْكُفْرَ.
Maka jawabannya adalah, aku katakan: “Ada pun pendapat yang mewajibkan iman sebelum ma‘rifat (mengenal Allah) maka lemah, sebab mewajibkan pembenaran dengan suatu nisbat yang belum diyakini keabsahannya akan mengantarkan pada penyamaan antara Nabi dan orang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi, pada penetapan awal mulanya ia beriman, lalu melakukan pemikiran, menemukan kebenaran, dan meneruskan keimanannya, atau ia menemukan kebatilan, lalu ia kembali pada kondisi sebelumnya, yaitu meyakini kekufuran.
وً أَمَّا إِذَا دَعَا الْمَطْلُوْبُ بِالْإِيْمَانِ إِلَى النَّظَرِ فَيُقَالُ لَهُ: إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ النَّظَرَ فَاسْرُدْهُ، وَ إِنْ كُنْتَ لَا تَعْلَمُهُ فَاسْمَعْهُ” وَ يُسْرُدُ فِيْ سَاعَةٍ عَلَيْهِ، فَإِنْ آمَنَ تَحَقَّقَ اسْتِرْشَادُهُ، وَ إِنْ أَبَى تَبَيَّنَ عِنَادُهُ، فَوَجَبَ اسْتِخْرَاجُهُ مِنْهُ بِالسَّيْفِ أَوْ يَمُوْتُ.
Adapun ketika orang yang diperintah beriman tadi meminta melakukan pemikiran (dahulu), maka dikatakan kepadanya (bila tidak hidup bersama-sama umat Islam): “Bila anda mampu melakukan pemikiran (yang benar), maka lakukanlah sekarang juga; bila tidak, maka dengarkanlah, dan alur pemikiran yang benar disampaikan kepadanya dalam waktu secukupnya. (283) Bila beriman, maka ia nyata-nyata telah mendapatkan petunjuk; bila menolaknya, maka ia jelas-jelas telah mengingkarinya, maka pengingkaran itu wajib dikeluarkan darinya dengan ancaman pembunuhan, kecuali ia mati tanpa dibunuh.”
وَ إِنْ كَانَ مِمَّنْ ثَاقَنَ أَهْلُ الْإِسْلَامِ وَ عَلِمَ طَرِيْقَ الْإِيْمَانِ لَمْ يُمْهَلْ سَاعَةً، أَلَا تَرَى أَنَّ الْمُرْتَدَ اسْتَحَبَّ فِيْهِ الْعُلَمَاءُ الْإِمْهَالَ لَعَلَّهُ إِنَّمَا ارْتَدَّ لِرَيْبٍ فَيُتَرَبَّصُ بِهِ مُدَّةً لَعَلَّهُ أَنْ يُرَاجِعَ الشَّكَّ بِالْيَقِيْنِ وَ الْجَهْلُ بِالْعِلْمِ، وَ لَا يَجِبُ ذلِكَ لِحُصُوْلِ الْعِلْمِ بِالنَّظَرِ الصَّحِيْحِ أَوَّلًا.
Bila ia termasuk orang yang hidup bersama umat Islam dan mengetahui cara beriman, maka ia tidak diberi waktu sedikitpun untuk menunda keimanannya. Tidakkah anda tahu, bahwa ulama mensunnahkan memberi kesempatan kepadanya, mungkin ia murtad karena keraguan, lalu ditunggu sebentar mungkin ia dapat mengganti keraguannya dengan keyakinan, dan mengganti kebodohannya dengan ilmu; dan pemberian kesempatan pada orang murtad tersebut tidak wajib karena keyakinan dapat dihasilkan dengan pemikiran yang benar di permulaannya.
وَ كَيْفَ يَصِحُّ لِنَاظِرٍ أَنْ يَقُوْلَ إِنَّ الْإِيْمَانَ يَجِبُ أَوَّلًا قَبْلَ النَّظَرِ وَ لَا يَصِحُّ فِي الْمَعْقُوْلِ إِيْمَانٌ بِغَيْرِ مَعْلُوْمٍ، وَ ذلِكَ الَّذِيْ يَجِدُهُ الْمَرْءُ حُسْنَ ظَنٍّ فِيْ نَفْسِهِ بِمُخْبِرِهِ، إِلَّا فَإِنْ تَطَرَّقَ إِلَيْهِ التَّجْوِيْزُ أَوِ التَّكْذِيْبُ تَطَرَّقَ.
Bagaimana benar menurut seorang pemikir, pendapat yang menyatakan bahwa wajib iman dahulu sebelum pemikiran? Sebab, menurut akal tidak sah iman tanpa kebenaran yang diketahui. Keimanan yang ditemukannya terjadi karena husn-uzh-zhann dirinya kepada orang yang memberitakan keimanan kepadanya, bila tidak demikian, maka bila keraguan atau anggapan bohong mendatanginya, hal itu akan menggantikan kemantapan imannya.
وَ أَيْضًا فَإِنَّ النَّبِيَّ (ص) دَعَا الْخَلْقَ إِلَى النَّظَرِ أَوَّلًا، فَلَمَّا قَامَتِ الْحُجَّةُ بِهِ وَ بَلَغَ غَايَةَ الْإِعْذَارِ فِيْهِ حَمَلَهُمْ عَلَى الْإِيْمَانِ بِالسَّيْفِ، أَلَا تَرَى أَنَّ كُلَّ مَنْ دَعَاهُ إِلَى الْإِيْمَانِ قَالَ لَهُ: “اِعْرِضْ عَلَيَّ آيَتَكَ”، فَيَعْرِضُهَا عَلَيْهِ فَيَظْهَرُ لَهُ الْحَقُّ فَيُؤْمِنُ فَيَأْمَنُ، أَوْ يُعَانِدُ فَيَهْلِكُ. انتهى.
Selain itu, sungguh Nabi s.a.w. pada masa awal risalahnya mengajak manusia untuk melakukan pemikiran, kemudian setelah hujjah menjadi kuat berdasarkan pemikiran dan beliau mencapai uzur tertinggi untuk melakukannya, maka beliau mengajak mereka beriman dengan ancaman perang. Tidakkah anda lihat, bahwa setiap orang yang diajaknya beriman berkata kepadanya: “Tunjukkan tanda-tanda kenabianmu kepadaku!” Lalu beliau menunjukkannya, maka jelaslah kebenaran bagi orang tersebut, kemudian dia beriman dan mendapatkan keamanan, atau mengingkarinya dan mendapatkan kerusakan.”
هذَا كَلَامُ ابْنُ الْعَرَبِيِّ، وَ هُوَ حَسَنٌ؛ وَ اسْنُشْكِلَ الْقَوْلُ بِأَنَّ الْمُقَلِّدِ لَيْسَ بِمُؤْمِنٍ، لِأَنَّهُ يَلْزَمُ عَلَيْهِ تَكْفِيْرُ أَكْثَرِ عَوَامِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَ هُمْ مُعْظِمُ هذِهِ الْأُمَّةِ، وَ ذلِكَ مِمَّا يَقْدَحُ فِيْمَا عُلِمَ أَنَّ سَيِّدَنَا وَ نَبِيَّنَا مُحَمَّدٍ (ص) أَكْثَرُ الْأَنْبِيَاءِ أَتْبَاعًا، وَ وَرَدَ أَنَّ أُمَّتَهُ الْمُشْرِفَةُ ثُلُثَا أَهْلِ الْجَنَّةِ.
Demikian pernyataan Ibn-ul-‘Arabī yang merupakan pendapat bagus, namun dimuskilkan dengan konsekuensi, bahwa seorang muqallid tidak berstatus mu’min, sebab pendapat tersebut berkonsekuensi mengafirkan mayoritas muslim awam, padahal mereka adalah mayoritas umat-ul-ijābah (294) ini. Hal ini mencemari fakta yang telah diketahui, yaitu sungguh Sayyidunā wa Nabiyyunā Muḥammad s.a.w. adalah Nabi yang paling banyak pengikutnya, dan telah ada hadits yang menyatakan bahwa umatnya yang mulia merupakan 2/3 penghuni surga. (305).
وَ أُجِيْبُ بِأَنَّ الْمُرَادَ بِالدّلِيْلِ الَّذِيْ تَجِبُ مَعْرِفَتُهُ عَلَى جَمِيْعِ الْمُكَلَّفِيْنَ هُوَ الدَّلِيْلُ الْجُمْلِيُّ، وَ هُوَ الَّذِيْ يُحَصِّلُ فِي الْجُمْلَةِ لِلْمُكَلَّفِ الْعِلْمَ وَ الطُّمَأْنِيْنَهُ بِعَائِدِ الْإِيْمَانِ، بِحَيْثُ لَا يَقُوْلُ قَلُبُهُ فِيْهَا: “لَا أَدْرِيْ، سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُوْلُوْنَ شَيْئًا فَقُلْتُهُ.
Kemusykilan itu dapat dijawab dengan jawaban, sungguh yang dimaksud dengan dalil yang wajib diketahui oleh seluruh mukallaf adalah dalil ijmālī (yang bersifat umum), yang pada umumnya menghasilkan keyakinan dan penerimaan hati atas akidah-akidah keimanan bagi mukallaf, sekira hatinya tidak mengatakan: “Aku tidak mengetahui, aku dengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku pun mengatakannya.”
وَ لَا يُشْتَرَطُ مَعْرِفَةُ النَّظَرِ عَلَى طَرِيْقِ الْمُتَكَلِّمِيْنَ مِنْ تَحْرِيْرِ الْأَدِلَّةِ وَ تَرْتِيْبِهَا وَ دَفْعِ الشُّبْهَةِ الْوَارِدَةِ عَلَيْهَا، وَ لَا الْقُدْرَةُ عَلَى التَّعْبِيْرِ عَمَّا حَصَلَ فِي الْقَلْبِ مِنَ الدَّلِيْلِ الْجُمْلِيِّ الَّذِيْ حَصَلَتْ بِهِ الطُّمَأْنِيْنَةُ.
Tidak disyaratkan mengetahui pemikiran sesuai metode mutakallimin, yaitu meneliti dan membenarkan dalil-dalil, menolak syubhat yang datang padanya, dan mengungkapkan dalil ijmālī yang ada di hati yang menghasilkan penerimaan.
وَ لَا شَكَّ أَنَّ النَّظَرَ عَلَى هذَا الْوَجْهِ غَيْرُ بَعِيْدٍ حُصُوْلُهُ لِمَعْظَمِ هذِهِ الْأُمَّةِ أَوْ لِجَمِيْعِهَا فِيْمَا قَبْلَ آخِرِ الزَّمَانِ الَّذِيْ يَرْفَعُ فِيْهِ الْعِلْمُ النَّافِعُ، وَ يَكْثُرُ فِيْهِ الْجَهْلُ الْمُضِرُّ، وَ لَا يَبْقَى فِيْهِ التَّقْلِيْدُ الْمُطَابِقُ، فَضْلًا عَنِ الْمَعْرِفَةِ عِنْدَ كَثِيْرٍ مِمَّنْ يُظَنُّ بِهِ الْعِلْمُ، فَضْلًا عَنْ كَثِيْرٍ مِنَ الْعَامَّةِ، وَ لَعَلَّنَا أَدْرَكْنَا هذَا الزَّمَانَ بِلَا رَيْبٍ، وَ اللهُ الْمُسْتَعَانُ وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.
Tidak diragukan, bahwa pemikiran sederhana semacam ini tidak sulit diperoleh bagi mayoritas atau semua umat-ul-ijābah ini sebelum akhir zaman yang pada waktu itu ilmu nāfi‘ akan diangkat; banyaknya kebodohan yang membahayakan; tidak ada taqlīd yang benar, apalagi ma‘rifat, pada orang-orang yang disangka mempunyai ilmu, apalagi pada orang-orang awam. Mungkin tanpa diragukan, kita menjumpai zaman ini. Allah Dzat Yang Maha diminta Pertolongan. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm.
وَ فِي الْحَدِيْثِ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): تَكُوْنُ فِتْنَةٌ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيْهَا مُؤْمِنًا وَ يُمْسٍيْ كَافِرًا إِلَّا مَنْ أَجَارَهُ اللهُ تَعَالَى بِالْعِلْمِ.
Diriwayatkan dalam suatu hadits dari Abū Umāmah r.h., ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Akan ada fitnah di akhir zaman, di pagi hari orang berstatus mu’min dan sorenya sudah menjadi kafir, kecuali orang yang dijaga oleh Allah dengan ilmu.”