Pasal: Selanjutnya, ketahuilah bahwa Tahapan Tobat ini, merupakan tahapan atau tanjakan yang sangat sulit ditempuh, tetapi sangat urgen dan besar bahaya yang merintanginya.
Telah sampai kepadaku, berita tentang orang yang sangat alim dan mengamalkan ilmunya. Abī Isḥāq al-Isfarayl berkata: “Aku telah berdoa kepada Allah s.w.t. selama 30 tahun agar aku dianugerahi tobat secara murni dan sungguh-sungguh (taubat nashūḥā). Hingga aku merasa heran dan berkata dalam hati: “Maha Suci Allah, aku telah memohon kepada Allah satu kebutuhan selama 30 tahun, namun sampai kini belum juga dikabulkan.” Lalu aku bermimpi, seakan-akan ada yang berkata kepadaku: “Apakah Anda merasa heran dengan hal tersebut. Tahukah Anda, apa yang Anda minta kepada Allah itu adalah agar Allah mencintai Anda. Bukankah Anda telah mendengar firman Allah s.w.t.:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ الْمُتَطَهِّرْيْنَ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (al-Baqarah: 222).
Apakah Anda memandang bahwa hal itu merupakan hajat yang kecil dan rendah! Renungkanlah, betapa ketekunan para imam dan besarnya perhatian mereka dalam memperbaiki dan membersihkan hati serta mempersiapkan bekal pulang menghadap ke hadirat Allah di akhirat.
Adapun bahaya yang sangat mengkhawatirkan dari menunda-nunda tobat adalah bahwa dosa itu pada awalnya membuat hati menjadi keras, tetapi akhirnya – na‘ūdzu billāh – membuat kecelakaan dan kebinasaan yang sangat menghinakan.
Karenanya waspadalah, jangan sampai Anda lupa persoalan Iblis dan Bal‘am bin Ba‘ura, yang pada mulanya persoalan mereka berdua adalah dosa yang mengeraskan hati dan berakhir dengan kekafiran, sehingga mereka berdua celaka bersama orang-orang yang celaka selama-lamanya.
Maka sadarlah dan bersungguh-sungguhlah – semoga Allah merahmati Anda – pastikan Anda dapat mencabut akar kecerobohan perbuatan dosa dari hati dan membersihkan diri dari dosa-dosa. Dan janganlah Anda sekali-kali merasa aman dari kekerasan hati yang disebabkan dosa-dosa.
Renungkanlah kondisi diri Anda, sebagian orang saleh berkata bahwa hitamnya hati disebabkan oleh perbuatan-perbuatan dosa. Adapun tanda dosa hitamnya hati adalah ketika Anda tidak takut mengerjakan perbuatan dosa dan memandangnya sebagai hal biasa, terhadap ketaatan tidak memiliki gairah, apalagi dapat menikmatinya, dan kebal nasihat.
Janganlah Anda meremehkan dosa sekecil apapun, lalu menganggap diri Anda sudah bertobat, pada hal Anda terus menerus bergelimang dosa-dosa besar.
Kami pernah menerima keterangan dari Kahmas bin Ḥasan, ia berkata: “Aku pernah berbuat suatu dosa, lalu aku menangisinya selama empat puluh tahun.” Hingga ada yang bertanya: “Apa dosa Anda itu wahai Abā ‘Abdullāh?” Ia menjawab: “Pada suatu hari, ketika saudaraku sesama muslim berkunjung padaku, aku membeli ikan sebagai hidangan, lalu ia makan. Setelah itu aku beranjak menuju ke pagar tetangga mengambil segenggam tanah untuk membasuh tangan saudaraku itu.”
Oleh karena itu, segeralah introspeksi, lakukan evaluasi dan koreksi diri, lalu cepat-cepatlah bertobat. Sebab, ajal itu tidak diketahui kedatangannya, sedangkan dunia ini penuh dengan tipuan, nafsu dan setan senantiasa menjadi lawan yang tidak kenal menyerah. Merendah dirilah kepada Allah dengan sungguh-sungguh, ingatlah kisah Nabi Ādam a.s. yang diciptakan oleh Allah dengan tangan kekuasaan-Nya dan Allah meniupkan roh dalam jasadnya, lalu ia dibawa ke surga, dipikul oleh malaikat di atas pundak mereka. Ādam tidak berdosa kecuali hanya sekali, namun menyebabkan ia diturunkan ke dunia.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Allah berfirman kepada Ādam: “Anda ini memandang apa berdekatan dengan Aku?” Ādam menjawab: “Engkau adalah tetangga yang paling baik bagiku, wahai Tuhan.” Allah berfirman: “Wahai Ādam, keluarlah (dari surga) jangan berdekatan dengan-Ku, lepaslah mahkota kemuliaan yang ada di kepala Anda, karena orang yang durhaka kepada-Ku tidak berhak menjadi tetangga-Ku.”
Menurut sebuah riwayat, setelah itu Nabi Ādam menangisi dosanya selama dua ratus tahun. Hingga Allah menerima tobatnya dan mengampuni satu dosa Adam a.s.
Begitulah kondisi Ādam setelah melakukan sekali dosa, padahal ia adalah seorang nabi pilihan Allah, lalu bagaimana halnya dengan orang biasa, yang bukan nabi dan mempunyai dosa yang tidak terhitung banyaknya?
Tangisan Nabi Ādam selama itu, adalah suatu sikap merendahkan diri sebagai orang yang bertobat kepada Allah. Lantas bagaimana keadaan orang yang terus menerus bergelimang dalam perbuatan dosa?
Betapa indah ucapan seorang penyair:
يَخَافُ عَلَى نَفْسِهِ مَنْ يَتُوْبُ
فَكَيْفَ تَرَى حَالَ مَنْ لاَ يَتُوْبُ
Artinya:
“Orang yang bertobat masih khawatir akan keselamatan dirinya lalu bagaimana halnya dengan orang yang tidak bertobat.”
Apabila Anda telah bertobat, lalu Anda merusaknya dengan melakukan dosa lagi, maka segeralah kembali kepada tobat, katakan pada diri Anda sendiri: “Kalau saja aku mati sebelum aku kembali melakukan dosa yang kali ini.” Begitu seterusnya, hingga ketika Anda mengulangi yang ketiga atau keempat kalinya. Sebagaimana juga manakala Anda sering berbuat dosa, maka Anda juga harus sering bertobat. Kemauan bertobat itu jangan sampai lebih lemah dari keinginan melakukan dosa. Janganlah sekali-kali berputus asa dan memberi kesempatan setan menghalangi dari bertobat. Karena kemauan dan semangat Anda untuk terus bertobat, sekalipun masih saja melakukan dosa adalah sebagai pertanda baik.
Bukankah Anda telah mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w.:
خِيَارُكُمْ كُلُّ مُفَتَّنٍ تَوَّابٍ
Artinya:
“Sebaik-baik orang di antara Anda sekalian adalah orang yang sering terkena fitnah, dan banyak bertobat.”
Yakni, orang yang terkena cobaan melakukan dosa, lalu ia banyak bertobat kepada Allah dan kembali kepada-Nya, dengan menyesal dan beristigfar memohon ampunan.
Perhatikan firman Allah s.w.t.:
وَ مَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللهَ يَجِدِ اللهَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا
Artinya:
“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampu lagi Maha Penyayang.” (an-Nisā’: 110)
Demikianlah, kepada Allah kita memohon taufiq dan pertolongan-Nya.